Sabtu, 19 Maret 2016


Ekskalasi Demo BBM 2012

(Sebuah Analisa Sosiologi Konflik)

 

 Sutrisno

Analisis pendek ini difokuskan terhadap  kemungkinan ekskalasi atau peluang membesarnya demonstrasi dari kalangan masyarakat terhadap rencana pemerintah yang akan menaikan harga bahan bakar minyak  pada 1 april 2012.  Untuk  fair-nya sebuah analisis ini perlu dikemukakan disini bahwa ; pertama, analisis ini hanya didasarakan pada sejumlah data yang berasal dari publikasi media massa, tanpa mempertimbangkan masukan data yang bersifat “underground” (yang biasa deperoleh dari kalangan inetelejen[1]). Padahal  dalam konteks ukuran kemungkinan tingkat anarkhi, data intelejen ini akan memberikan tingkat akurasi. Kedua, kenyataan demo di lapangan masih terus bergerak sementara tulisan ini selesai pada pukul 10.00 wib, 28 Maret 2012,  jadi tak menjangkau perkembangan terakhir atas  data yangfluid (mencair) itu.

 

 

Latar Belakang; sebuah ‘gerakan’ massa anti kenaikan BBM

Secara teoritik (misalnya, Smelser, Dehrendorf, Cosser) menjelaskan tingkat ekskalasi dan anarkhi sebuah gerakan sosial (gerakan massa dalam kontek ini diartikulasikan melalui demomstrasi) mempunyai paling tidak dua dimensi latar belakang. LatarPertama, adanya gejala deprivasi (maupun deprivasi relatif) yang berkepanjangan. LatarKedua, soliditas dan solidaritas  kelompok yang ter-pinggirkan.  Dua dimensi ini, akan dipakai untuk mengukur kemungkinan ekskalasi dan kemungkinan anarkhi, dan kemudian bagaimana negara khususnya kepolisian selayaknya mengambil sikap atas demonstrasi semacam ini.

Deprivasi / Deprivasi Relatif.  Deprifasi dalam pengeritan yang longgar adalah proses marjinalisasi atau peminggiran. Korban dari proses deprivasi ini adalah kaum marjinal. Proses deprivasi dalam kerangka pembacaan terhadap demokenaikan BBM 2012 adalah: bahwa rencana pemarintah ini tidak wellcome terhadap aspirasi masyarakat / rakyat yang hidup bak ‘permukaan air yang telah mendekati lubang hidung’, jika air ini bergerak sedikit saja akan sangat mengganggu nafas hidup. Tetapi  Dari sejumlah laporan media massa isu penolakan kenaikan  anti kenaikan BBM bukan dibangun oleh kalangan kelompok deprivasi semacm ini. Disini, tak relefan memaksakan analisis gaya Marxian secara telanjang.  Atau dalam kesimpulan yang umum atas penggunaan konsep deprivasi ini maka konsep ini sejauh ini tidak relefan untuk membaca gejolak anti kenaikan BBM. Jadi, kita tinggalkan analis semacam ini disini. Maka kemungkinan lain adalah pada mengenanya gejala deprivasi relatif. Gejala deprivasi relatif ini artinya gerakan demo tidak dilakujkan oleh nota bene kelompok yang terpinggirkan itu.Pada dasarnya, suara paling nyaring dari anti kenaikan BBM berbasis pada oposisi politik SBY. Nama Kwik Kian Gie sangat strategis disini, bahkan kalangan oposisi SBY pada level supra struktur politik di parlemen tidak sekeras Kwik ini. Dalam sebuah situs http://rimanews.com gagasan Kwik ditulis dalam 7 halaman dengan sangat lugas menandaskan bahwa Rezim SBY melakukan kebohongan. Situs ini ditulis sangat rasional, masuk akal dengan angka-angka yang  meyakinkan bahwa tak semestinya BBM ini naik meskipun harga minyak dunia naik. Kesimpulan ‘tragis’ yang keluar dari kajian Kwik ini adalah bahwa pemerintah telah melanggar UUD RI.

Gagasan Kwik ini menjadi “energi-moral” bagi sejumlah kalangan. Dalam pembacaan sosiolog Dahrendorf  “energi moral” jauh lebih penting sebagai energi gerakan sosial (demonstrasi) ketimbang klaster-klaster kelompok politik. Lebih – lebih kalangan pemerintah nampakya kurang bisa melakukan counter wacana terhadap pandangan kritis Kwik. Jawaban pemerintah diwakili Menteri ESDM Jero Wacik dalam debat Jakarta Lawyer Club kurang bisa memenuhi pandangan kritis Kwik. Jawsaban Jero Wacik hanya normatif, prinsip yang sering dikemukakanya adalah “masaq pemerintah berbohong!”. Padahal, yang diperlukan adalah jawaban teknis angka, sebagaimana Kwik dalam analisisnya.

 

Kelompok Pendemo

            Penting disini mengidentifikasi siapa mereka kelompok pendemo itu. Domain utama kelompok pendemo ini adalah yang mempercayai wacana yang dikembangkan Kwik. Tidak mudah memahami angka-angka analisis Kwik ini bagi kalangan masyarakat luas, kecuali kalangan mahasiswa dan anak-anak muda perkotaan. Maka kelompok pendemo berasal dari domain sosial ini (mahasiswa dan anak muda kota), ditambah kalangan buruh.  Dua kelompok ini sepanjang sejarah penggulingan rezim maupun kerusuhan massa paling getol berada di depan melalui isu-isu populis. Bisa jadi karut marut kinerja instrumen negara menambah rasa un-trustterhadap pemerintah. Karut marut ini meliputi  fenomena korupsi di institusi pemerintah; pajak; kepolisian (utamanya isu Rekening Gendut)  ; kejaksaan. Penyelesaian yang masih menyimpan banyak pertanyaan perihal pemanfaatan sumber daya alam di daerah perkebunan dan pertamnbangan. Harus diakui bahwa citra kepolisian meskipun lembaga ini telah kerja keras melakukan banyak hal, namun ternyata citra yang dibangunnya  tidak berdiri sendiri. Citra kepolisian dipengeruhi pula, misalnya, gonjang –ganjing  pemerintah, dan sejumlah lembaga negara lain (presiden[2], misalnya).

 

Ekskalasi

Telah diurai bahwa kelompok pendemo dalam kontek BBM adalah berasal dari kelompok deprivasi relatif (bukan kelompok deprivasi mutlak). Karena, sekali lagi, demo BBM digerakkan melalui “energi moral” wacana Kwik;  kelompok ini berbasis pada mahasiswa dan anak muda perkotaan. Maka kemungkinan ekskalasi dapat dipantau melalui dua realitas berikut ;

Pertama,  Sementara dalam kajian Harian Kompas melalui jejak pendapat, bahwa sesungguhnhya (justru) kalangan muda perkotaan yang disebut di atas  bersifat pragmatis. Analisis Kompas menegaskan anak muda kota pasca reformasi ini telah jauh berbeda dengan era sebelumnya. Pragmatisme anak muda kota hari ini tak terlalu berbahaya bagi hadirnya gerakan sosial berwarna anarkhi. Ini ada hubungannya dengan lumpuhnya heroisme dikalangan mereka. Kalau sekedar menyebut nama; Budiman Sudjatmiko, Pius Lustrilanang, Andi Arief, Rosa Damayanti,  adalah anak muda yang keras pada masa lalu. Hari ini perjuangan  mereka telah “selesai” dan belum ada penggantinya. Sementara mereka sudah bisa dan biasa ngobrol di ruang ber-AC di kafe-kafe.   Bagi Dahrendorf, gerakan massa yang besar, solid dan kuat (potensi untuk melakukan anarkhi) memerlukan tiga prasyarat; teknis, sosiologis, dan politis. Tiga syarat ini nampaknya tak terpenuhi, meskipun “energi moral” itu ada melalui wacana Kwik.      

Kedua, instrumen – instrumen demokrasi pada hari ini telah mampu mematahkan kemungkinan gejolak gerakan masa yagn  masiv. Dalam kasus BBM ini supra-struktur politik telah berada dalam koridor demokrasi; tidak ada dominasi partai politik dominan (Partai Demokrat) terhadap oposisi. Fenomena ini jauh berbeda dibandingkan dengan  dasawarsa tahun 90-an yang melahirkan gerakan sosial yang masiv.

            Sampai tanggal 27 Maret 2012 ketika analisis ini telah selesai ditulis, nampaknya tak ada suatu insiden serius. Sejumlah media massa pada hari sebelumnhya menulis kamngkinan puncak demo pada tanggal ini akan turun sejuta manusia pendemo di Jakarta (Warta Kota 26/3/2012), ternyata ‘tidak gitu-gitu amat’ .  Ini tak bisa dikatakan bahwa ekskalasi demostrasi bisa di-isolasi, tetapi karena sejumlah prasyarat gerakan sosial masiv ini tak terpenuhi.  Namun, kemungkinan ekskalasi ini akan membengkak melalui isu-isu hak asasi manusia dalam kaitan pelibatan TNI yang masuk pada ruang yang salah. Istilah “salah” ini bukan dalam pengertian yang koheren, karena nampaknya masuknya TNI dalam domain ini (bagaimanapun) mempunyai tafsir legal. Persoalannya adalah tafsir ini acapkali bersifat hegemonik. Bisa jadi dalam waktu yang tak panjang sejumlah LSM yang konsern terhadap HAM memasuki wilayah ini dan  hegemoni wacana bukan dilakukan oleh (aktor) negara tetapi justru dilakjukan oleh LSM.

 

Data yang Terus ‘Bergerak’

Harian Kompas hari ini (28 Maret 2012) mengangkat laporan demo aksi penolakan rencana kenaikan BBM hasil liputannya hingga kemarin sore dengan  head line  Bentrok di Beberapa Tempat”.  Dari 14 wilayah demonstrasi yang dipantau Kompas, di 5 wilayah yang dikategorikan sebagai benntrok dan ricuh, selebihnya 9 wilayah tergolong tertib.  Realitas inilah yang menarik, perlu kajian dengan kedalaman yang  khusus, misalnya dengan  pertanyaan: “mengapa /bagaimana terjadi berbeda-beda dalam (karekter demonstrasi) itu ?”  Kalau dibuka file sejumlah demo di wilayah – wilayah di Indonesia, rasanya tiga wilayah yang selalu mengandung dimensi anarkhi, secara berurutan ; Makasar, Medan, dan Jakarta.  Tetapi file ini hanya tuntunan untuk membangun hipotesis awal, lebih lanjut pertanyaan yang menarik : “mengapa di daerah-daerah tertentu itu cenderung anarkhis?”.

 

Penutup

Dari pembacaan melalui sejumlah teoritisi sosiologi konflik atas  struktur sosial masyarakat Indonesia, minimal kondisi struktur sosial pasca tahun 2005  ini maka potensi gerakan sosial yang besar (masiv) dan keras sangat kecil. Terutamamerujuk Dahrendorf, memerlukan tiga syarat untuk meledaknya sebuah gerakan sosial masiv itu; tiga syarat ini belum terpenuhi untuk kondisi sekarang. Maka dari fenomena ini ada baiknya kepolisian meletakkan warning; Pertama,   kedepan nanti jika tiga kondisi di atas terpenuhi maka keberhasilan mengelola demonsstrasi masiv sangat bertumpu pada kekuatan intelejen. Untuk ini perlu jauh-jauh hari kepolisian menganalisis wajah intelejennya; utamanya pada (infastruktur) pendidikan dan  organisasi garis komando. Dan, tentu saja pada level Polda pembacaan atas data intelejen memerlukan keahlian akademis yang kuat. Top Menejer pada level ini sebaiknhya melibatkan sosiolog dan psikolog. Kedua, Relasi TNI dalam ruang publik bagaimanapun belum jelas di dalam praksis. Maka “kekosongan”  ini  menjadi sangat penting bagi kepolisian untuk segera ancang-ancang membuat draft (meskipun hanya tafsir atas regulasi yang ada) tentang  posisi TNI di ruang publik. Paling tidak sasarannya tata kelolanya tidak lagi debatable dengan wacana kalangan akademisi sebagai basis demokrasi (meskipun tak harus  berkesesuaian dengan kalangan  LSM).Ketiga, selayaknya kepolisian (STIK – PTIK) melakukan kajian melalui penelitian yang serius terhadap karakteristik-karakteristik demonstrasi di wilayah-wilayah di Indonesia, sehingga mempunyai “pakem” dalam identifikasi wilayah atau struktur demonstrasi yang potensi terhadap anarkhisme.

---Bravo---



[1] . Sebagai ilustrasi, era Orde Baru kekuatan intelejen negara (kepolisian maupun non-kepolisian) relatif kuat (lihat, misalnya Honna dalam “Serdadu Memburu Hantu”; 2010) . Data intelejen cukup membantu aparat keamanan menyususn strategi proporsional (tidak berlebihan dan tidak pula keteter). Pernah, pada suatu hari di tahun 1995 mencium gelagat rencana strategi demonstrasi dengan warna kekerasan di sejumlah kampus dan kantong –kantong aktifis buruh di Jakarta. Intel ini masuk hadir di setiap kampus di Jakarta dan memberi laporan secara berkala. Budiman Sudjatmiko cs. tertangkap di Bekasi sebalum aksi. Namun,sejumlah aktifis kiri “hilang” (dihilangkan?) entah kemana. Tahun 2000 beredar ‘khabar burung’ terutqama dari kalangan Kontras bahwa Prabowo Subiyanto ada dibalik penculikan itu. Fenomena ini yang membuat mengerasnya aksi-aksi demo yang kemudian memaksa Suharto turun. Sejumlah kalangan menilai, cara – cara menghilangkan aktifis ini sebagai mencederai para  jasa para intel itu.
[2] . Sejumlah jejak pendapat yang rutin dilakukan harian Kompas menunjukan angka popularitas SBY merosot dari tahun ke tahun. Pada bidang hukum pun tak jauh berbeda dengan kecenderungan merosotnya angka popularitas SBY. Karena, barangkali, “SBY” dalam kerangka berfikir agregasi bukanlah aktor, ia kemudian diartikulasikan menjadi “Rezim”.

Jumat, 11 Desember 2015


Bedah Buku

Muradi.2014. Politics and Governance in Indonesia:  The police in the era reformasi, Routledge, London and New York

------------------------------------------------------------------------------------------
Dr. Sutrisno


Polri pasca pisah dengan TNI menjadi perhatian serius  buku ini. Utamnya, tentu saja, menelusuri ikhwal  yang membelit ‘bekerjanya’ Polri:   sebagaimana ditulis pada hal.3, ”... to discuss how the process the Polri’s disassociation from the ABRI has been working...”   Profesionalisme dan independensi Polri diletakkan sebagai  sentra penelusuran  penulisan. Dua konsep ini – meminjam cara weberian – merupakan  orientasi  dalam mengkonstruksi ‘tipe ideal’, sehingga seluruh energi – termasuk pertanyaan yang dibangun – pada dasarnya berputar-putar pada dua konsep itu.   

 

Mencari  faktor  profesionalisme dan independensi  Polri

Bagaimana menyasar faktor yang dapat menjelasakan persoalan profesionalisme dan independensi  Polri  ?  

Hemat saya, cara penelusuran untuk menemukan faktor-faktor profesionalisme (dan independensi) Polri  yang dipakai Saudara Muradi menggunakan langgam functionan explanation [1]. Kalau merujuk pada raksasa ilmu sosial cara ini ketemu pada sosok Emile Durkheim. Tentu saja, pentipologian eksplanasi (atau penelitian) semacm ini  bersifat “longgar” saja.  Tetapi, dalam acara Bedah Buku semacam ini  mendiskusikan tipologi eksplanasi ini agaknya  penting dalam kerangka “kesadaran” perspektiv : bahwa realitas sosial  itu betapapun dilihat secara kuat dan komprehensif  tetap saja bersifat perspektival. Tipologi berpikir Durkheimian-functionan explanation merupakan  mainstream  di bangku-bangku akademik. Tipologi  diluar mainstreim, misalnya, model yang dipakai mazdhab Frankfurt, ‘materialis’-marx,  hermetitika, dan yang ditawarkan kalangan posmodern (Derrida, Foucault, Richard Rorty) hemat saya merupakan  tipologi minor. 

Meskipun  pendekatan struktural fungsional juga  mempunyai keragaman namun pada prinsipnya, epistemologi yang dipakainya memandang realaitas sebagai  ‘homeostatik’: masyarakat selalu bergerak ke arah keseimbangan, keteraturan; masyarakat diikat oleh konsensus bersama. Bagaimana memandang “persoalan”, yang ipso facto menjadi perhatian penelitian ini ? (in case, konsen Sdr. Muradi pada profesionalisme dan independensi Polri post pisahnya dari ABRI).  “Persoalan” yang secara umum  acapkali depahami sebagai kesenjangan das sein dengan das solen,  disini  dalam  pendekatan Durkheimian,  mendefinisikan sebagai: elemen-elemen tidak memberikan kontribusi terhadap homeostatik/integrasi; elemen itu diprediksi dalam  keadaan disfungsi atau malfungsi.

    Oleh karena itu kalau ada “persoalan” dalam sebuah entitas sosial maka untuk menjawabnya harus dirunut pada elemen-elemen sosial yang membangunya. Karena asumsinya elemen-elemen sosial yang lain itulah yang memengeruhi hadirnya  “persoalan” (persoalan profesionalisme dan independensi Polri). Tetapi kemudian, mengapa elemen yang lain itu rusak hingga mempengarhui profesionalisme Polri ?  Jawabnya, karena elemen yang rusak itu dipengaruhi elemen yang lainya yang rusak juga. Ya, mengapa elemen yang lainnya itu rusak ? Jawabnya, ya, elemen yang rusak itu disebabkan oleh elemen lain yang rusak juga.  Begirtu seterusnya.  Ini watak penjelasan ‘homeostatik’ yang menggunakan analogi biologis.  Istilah ‘elemen sosial’ tidak mempunyai difinisi yang ketat. Sehingga yang dimaksud  bisa institusi, bisa sistem, bisa lembaga, bisa budaya, regulasi, dan lain-lain. Tetapi yang jelas istilah itu tidak dialamatkan pada “kepentingan”, karena “kepentingan” adalah bahasa materialisme-marxian. Jadi, perlu digarisbawahi, tidak ada kosa kata ‘kepantingan’ atau benturan ‘kepentingan’ sehingga tidak ada pula konsep-konsep derivasinya yang meliputi ‘dominasi’, ‘hegemoni’, ‘eksploitasi’  dan seterusnya.  

 

            Kritisisme dalam Fungsionalime Struktural

Tentu saja, bukan berarti  penjelasan struktural fungsional itu tidak bisa kritis dibandingkan dengan pendekatan materialisme-marxian dan Madzhab Frankfurt. Konsep-konsep seperti disfungsi dan malfungsi menjadi bentuk ‘kritisisme’ pendekatan yang subtantif digunakan Sodara Muradi.   

Bahkan belakangan ini  dalam perkembangan  fungsionalisme  muncul konsep-konsep yang lebih canggih, misalnya, selain disfungsi dan malfungsi di atas, adalah ‘eufungsi’ dan ‘distruktur’. Dua konsep ini menelanjangi bahaya “integrasi” dalam masyarakat.[2] Terus terang, saya yang berkecimpung dengan dunia sosiologi lebih dari 20 tahun belum pernah membaca karya (artikel/makalah/tesis/disertasi) yang menggunakan dua konsep ini. Mungkin, paralelisme dua konsep itu  bisa diikuti melalui cara pembacaan yang dilakukan oleh Frederick Hayek[3], seorang pemikir ekonomi-politik liberal kelahiran Wina (1899 – 1992),  tentang persoalan-persoalan kolektivisme. Konsep ‘integrasi’ dengan berbagai derivasinya ke dalam bahasa Indonesia, seperti: ‘kebersamaan’, ‘gotong royong’, ‘keseragaman’  dan lain-lain mendapat serangan.

Di sini, realitas tidak bisa dibaca secara linier. Misalnya, tentang “independensi Polri”, hemat saya tidak bisa sepenuhnya dibaca menggunakan ‘cetak biru’ preskripsi Trias Politika-nya Montesque. Dalam praksis, (alasan) independensi digunakan sebuah institusi negara untuk ‘menutup’ diri dari dialog-diskursiv ala Habermas.

 

Imperativ Kategorik vs. Hipotetikal Kategorik. Hubungan antara profesionalisme dengan independensi seperti dua sisi dalam satu koin[4]. Proposisi  semacam ini, meminjam langgam berfikir Frederich Hayek, adalah cara menghubungkan dua konsep yang salah kaprah. Karena, ‘profesionalisme’ adalah konsep undefinite, atau imperativ kategorik ;    sementara ‘independensi’ mempunai dimensi yang komplek, ia bukan sekedar  konsep/variabel yang  gradativ (ordinal ?) tetapi didalamnya mengandung exception  atau  hipotetikal kategorik.

 Ada apa dengan konsep  independensi ?  Independensi institusi dalam demokrasi tidak bisa sepenuhnya telanjang, maksudnya supaya tidak terjadi monopoli tafsir atas realitas. Karena bukankan adab demokrasi itu realitas ditafsir secara bersama!  Dalam kerangka ini amatlah perlu  struktur yang mengkordinasikan antar elemen/institusi, sebagaimana diisyaraatkan Ralf Dahrendorf  dengan ICA nya: imperatif coordination association. Maka, hemat saya, pembacaan Trias Politika yang menyemangati  independensi Polri tidak bisa menanggalkan  ICA nya Dahrendorf.

Kembali ke cara pendekatan klasik di atas. Meminjam Durkheim, ‘fakta sosial harus dijelaskan dengan fakta sosial lainnya’. Proposisi ini menjadi formula: kerusakan suatu  elemen penyelenggara negera harus dijelaskan melalui elemen-elemen lain. Elemen-elemen sosial itu begitu luas, bisa berada di luar dirinya atau di dalam dirinya, sebagaimana komentar Guy Rocher[5] terhadap Talcot Parson yang  Durkheimian itu,   bahwa sistem itu ibarat a set of chinese boxes, didalam kotak masih ada kotak lagi, dan lagi, dan lagi.    Jadi, cara ini dipakai  oleh Muradi :   profesionalisme Polri (dan independensi) dilacak pada dua faktor besar (pada halaman 2 disebutnya sebagai ‘major problem’). Pertama, masalah eksternal, hubunganya Polri sengan TNI, pemerintah (lokal), illegal income, prostitusi, judi, dan lain-lain. Kedua, masalah internal, meliputi budaya institusi, finansial, kepemimpinan, skill.

 

Polisi, Negara, dan Masyarakat Sipil

Hubungan antara profesionalisme  dan indepensensi  Polri dengan sejumlah faktor di atas bersifat fungsional (function). Bedakan istilah function (fungsi) ini dengan “faedah” dalam bahasa arab atau bahasa indonesia. Yang dimaksud dalam istilah ini adalah orientasi metodologis bahwa ‘konsekwensi’, bukan penyebab, dari sebuah fenomana empiris menjadi fokus perhatian analisisnya[6]. Tentu saja, yang mau dikatakan Saudara Muradi,  profesionalisme  Polri diletakan sebagai variabel yang akan dijelaskan (variabel dependen). Hemat saya, sayang sekali tidak menimbang faktor kekuatan infrastruktur sosial diluar state  seperti organisasi masyarakat sipil (OMS). Padahal, gerakan masyarakat sipil ini, khususnya melalui OMS cukup signifikan memberikan warna merah hijau kuningnya terhadap institusi negara yang secara langsung berurusan dengan (kebebasan) sipil. Hemat saya,  melalui Undang Undang Perss dan juga Undang Undang Kebebasan Informasi Publik  hubungan state dengan masyarakat sipil berubah secara total  dari sebelumnya. Disini kiprah  OMS  menjadi amat kuat oleh karena itu perlu diperhitungkan sebagai variabel independen. Dalam transisi demokrasi  Polri mempunyai hubungan ‘spesial’ dengan (gerakan) masyarakat sipil, karana gerakan masyarakat sipil ini dalam banyak dimensi secara langsung bersentuhan terhadap tugas-tugas kepolisian. Ini hampir merupakan fenomena umum.

Tetapi, tentu saja pengabaian terhadap  kekuatan non-negara terhadap ‘cetak biru’ institusi negara --sebagaimana dilakukan Muradi-- tidak akan mengurangi ketajaman analisisnya. Karena hal semacam ini akhirnya adalah sebuah pilihan atas batasan ruang lingkup kancah penelitian. Ketajaman dan kekuatan analisis tidak ada hubungan dengan keluasan cakupan faktor yang akan dianalisis. Barangkali, kalau Saudara Muradi memasukan (variabel) penjelas OMS  terhadap institusi kepolisian maka pendekatannya pun akan bergeser agak ke “kiri”, agak marxian. Mengapa ?  Penelusuran, misalnya,  sejak era Orde Baru terhadap hubungan civil society dengan institusi negara, tidak bisa sekedar menjelaskan bahwa  lemahnya OMS, terus titik. Tidak bisa  titik  disini,  lemahnya kekuatan sipil (OMS) ini tidak (pernah) given, tetapi ia memang dibuat lemah.

Namun, apakah pada era pasca pisahnya polisi dari TNI juga  OMS ini dibuat lemah ?   Struktur  relasi negara – masyarakat sipil sudah sedemikian bergeser sejak pasca tahun 2000. Sejumlah undang undang, seperti UU Pers, UU Keterbukaan Informasi Publik, dan lain-lain memperkuat posisi  OMS dihadapan negara. Disinilah signifikansinya, justru ketika  OMS ini mempunyai posisi kuat dihadapan negara maka perlu ia diperhitungkan dalam memberikan warna terhadap instrumen negara.    Pengertianya, analisis relasi negara versus masyarakat sipil sudah tidak lagi relefan menggunakan konsep-konsep marx- klasik seperti dominasi, pengekangan, (bahkan hegemoni), apalagi eksploitasi, meskipun dimensi konsep ini sesekali ada.  ‘Sumber daya kekuasaan’dalam dimensi regulatif antara  state (baca: kepolisian) dengan CSO cenderung mendekati keseimbangan sehingga konsep-konsep dominasi dan pengekangan tidak lagi bisa dipakai. Identifikasi terhadap kekuatan masyarakat sipil (OMS) tidk pula relefan ditelusuri dari interfnsi negara (atau dalam hal ini polisi). Tetapi lebih “murni” menyangkut persoalannya sendiri, seperti kondisi burgerlich-nya.     

 

Democratic Policing

Sebagai sebuah konsep, democratic policing bukanlah ‘barang jadi’ yang mudah difahami di kalangan kepolisian. Alih-alih, jangankan di kalangan kepolisian yang acapkali  memahami banyak hal mkelalui instruksi, di lingkungan akademisi dan penekun ikhwal kepolisian  sendiri konsep ini tidak ‘duduk’ benar. Barang ini mamang tidak mudah difahami! Dibawah ini ilustrasi  simpang siur konsep ini dalam sebuah diskusi. [7]      

Sebuah  Forum Group Discussion hasil penelitian bertajuk “Seminar Hasil Penelitian Kompolnas di Tiga Polda (Polda Sumut, Jateng, dan Kaltim) Tentang Penerapan Pemolisian Demokratis”, 2 November 2008 di Hotel Aryadhuta meletakkan istilah  “pemolisian demokratis” dalam judul seminar  menjadi materi diskusi yang menyita waktu hampir separuh sepanjang diskusi. Judul penelitian sebagaimana terpampang pada spanduk seminar bukan sekedar istilah baru dalam khasanah kepolisian,  oleh beberapa peserta istilah ‘pemolisian demokratis’ dipandang sebagai telah lepas dari konteks.  Padahal penelitian ini diawaki oleh sejumlah mantan pejabat Polri.

Bachtiar Ali dan Sarlito Wirawan yang kerap dipakai sebagai “think thank” Kapolri berkeberatan dengan penggunaan istilah itu. Alasannya istilah ‘Polisi demokratis’ tidak dikenal dalam Undang-Undang  no. 2 Tahun 2002. Bagi Bachtiar Ali, polisi tidak dirancang untuk berdemokrasi dalam tugasnya, ia adalah penegak hukum. Baginya, tidak ada diskusi, kompromi, dan tawar menawar dalam melakukan tugas penegakan hukum. Kiprah polisi dalam tugas tak perlu dikaitkan dengan  demokrasi. Demokrasi hanya di Senayan dalam  proses pembentukan undang-undang. Ketika hukum dan sejumlah produk hukum terbentuk demokrasi tak lagi ada, yang ada adalah konstestasi antara praktik aparat Negara di satu sisi yang diamanatkan menjaga kewibawaan hukum dan Negara dengan pelanggar hukum. Hukum itu betapapun “bopeng” wajahnya bagi polisi hanya wajib bertugas mengamankannya.

Agaknya paralel dengan Prof. Muladi, mantan Penasehat Kapolri,  dalam orasi ilmiahnya di PTIK, 17 Juni 2006,  bahwa polisi dalam mengendalikan ketertiban masyarakat  mendayagunakan formasi paramiliter. Yaitu bergerak bersama dalam kesatuan dan harus taat pada perintah komanadan. Namun karena tugas utama polisi adalah melindungi orang, bukan membunuhnya, menerapkan budaya militer murni pun tidak terlalu kena. Dalam masyarakat demokratis masih didiskusikan persoalan langkah-langkah pemolisian (the goal of policing). Muladi merujuk Henry Wrobleski dan Karen Hess (2006),  paling tidak langkah – langkah pemolisian dalam masyarakat demoratis, seara tradisional adalah; a) penegakkan hukum (inforce laws); b) menjaga suasana kedamaian (preserve peace) ; c) mencegah kejahatan ( prevent crimes) ; d) melindungi hak – hak dan kebebasan individu (protect civil right and civil liberties); e) menyelenggarakan pelayanan (provide service).  Namun kemudian perkembangannya mengikuti  kontekstualitas masyarakat/negara, sehingga “community policing” menjadi konsep penting dalam pelaksanaan program pemolisian demokratis  itu. Dua tujuan penting dalam pemolisian demokratis ini adalah menciptakan kemitraan dengan masyarakat (forming partnership with the community), dan penerapan pendekatan proaktif dalam memecahkan masalah kejahatan, rasa takut terhadap kejahatan dan pencegahan kejahatan.

Wacana polisi dalam demokrasi dari uraian Muladi lebih terletak pada penekanan  pendekatan (tugas) polisi dalam realsinya dengan masyarakat. Tidak lagi menempatkan masyarakat sebagai obyek, dimana polisi secara superior mendefinisikan secara otonom segala hal ikhwal kejahatan (crime) dan ketertiban (order) di tengah masyarakat. Bukan “negotiable” soal kejahatan yang sudah jelas dipatri dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana, seperti yang dikhawatirkan Bachtiar Ali, bukan disini ruang polisi dalam demokrasi.

 Momo Kelana, ketua peneliti dari LCKI  berpandangan  pemolisian demokratis  mengatasi term pemolisian masyarakat. Diskusi istilah ‘pemolisian demokratis’ ini menunjukkan dua kemungkinan gejala. Pertama, adanya simpang siur di sejumlah kalangan opinion leader (elit kepolisian dan kalangan umum-akademik) terhadap  realitas gagasan sejauh mana kompatibilitas (compatibility) demokrasi di tubuh kepolisian.  Kedua, bagaimana menempatkan polisi dalam tatanan demokrasi. Poin kedua ini menyangkut persinggungannya dengan masyarakat, pada level ini tidak terlalu memakan energi perdebatan di dalam tubuh kepolisian. 

 

Konstruksi Etik - Emik Democratic Policing

Terlapas dari perdebatan itu, bagaimana secara koheren konsep Democratic Policing  ini dikonstruksi ?  Muradi mengacu pada Bailey dan Dammert, “democratic policing is defined as a policing in democratic countries where practicing must be in accordance to the norm usually held in democratic countries”.  Frase  norm usually held in democratic countries ini sangat krusial dalam setiap pendefinisian karena frase ini ‘mengikat’ semua pendefinisian  yang ada, termasuk perdebatan di atas.  Hemat saya,  tak perlu lagi dipertanyakan secara analitik perihal ‘apa itu norm in democratic’ yang tentu saja puluhan literatur membarikan keterangan soal ini ; tetapi,  siapa yang mendifinisikan norm  ini?  

Pertama, norma (norma demokratik) ini didefinisikan secara etik. Sejumlah teoritisi mendefinisikan apa yang dimaksud norma dalam demokratic policing ini.  Sehingga didapatkan  sejumlah kriteria atau ciri-ciri penerapan demokratic policing  yang diperoleh secara deduktif, meskipun ciri-ciri ini dalam detailnya  berbeda namun secara prinsip terdapat kesamaan.  Baik  Muradi dengan cara merujuk Bailey maupun peneliti senior Momo Kelana yang diurai di atas menggunakan  penggunaan cara etik ini. Begitu juga Muladi yang merujuk  Henry Wrobleski dan Karen Hess. 

Kedua, norma democratic policing  ‘dirumuskan’ secara emik. Semangat ini berasal dari J. H. Skolnick (1999). Ujarnya,  the role of police power in a democracy should be the expression of social consensus”.  Masyarakat pada sadarnya tidak “aware” dengan konsep-konsep dan kritieria yang dipegang dalam rumusan sebagaimana yang dilakukan kalangan perumus etik, tetapi prinsipnya kerja dan (power) polisi dibutuhkan sebagai ekspresi dari konsensus masayarat. Jadi, disini  nyaris tidak ada rumusan tentang apapun  bagai kepolisian dalam mengartikulasikan perannya dan fungsinya. Ttidak ada kerangka  norma eduktif karena norma itu justru harus tumbuh dari induktif, dengan apa yang disebut “social consensus”. Dengan demikian  democratic policing  harus dilihat sebagai proses, bukan out come. Gerry T. Mark menyebut,  Democratic policing should be viewed as a process not  an outcome.  

 

 

        Refleksi

Ø  Buku ini dengan sangat teliti mampu menggambarkan wajah Polri pasca pisah dengan TNI,  utamanya  pergulatannya dalam dua hal: independensi dan profesionalisme. Hemat saya, titik tumpu penggambaran dan penjelasan ini diletakan pada level interkasi/relasi di tubuh state sendiri. State sebagai entitas sosial yang ‘mandiri’ sehingga ‘merah hijau kuning’-nya terisolasi dari infrasturktur sosial (masyarakat sipil).

Kalau secara simpel harus menjawab pertanyaan, apa yang mempengaruhi   wajah Polri,  buku ini memberikan jawaban  pada level suprastruktur,  ketimbang kekuatan infrastruktur politik. Tentu saja, judulnya saja ‘Politics and Governance in Indonesia’.

 

 

 

Ø  Asumsi. Asumsi penelitian ini sudah membatasi diri dari kemungkinan realitas konfliktual, kalaupun harus menyentuh terminologi konflik tidak dialamatkan pada ‘kepentingan’  tetapi dialamatkan kepada problem sistem.

 Implikasi dari poin ini adalah pada penelusuran pencarian faktor yang  membingkai realitas (profesionalisme dan independensi Polri), yang  dilacak pada eksternal dan internal. Padahal hemat saya  diluar state, ada  civil society, tepatnya organisasi masyarakat sipil  cukup kuat membuat merah-hijau-biru  wajah Polri.

  

Ø  Dalam pembacaan yang agak makro, melacak pada literatur semacam Boucher, Havidz, Aditjondro, resistensi yang paling serius dalam pengembangan demokrasi pasca 1998 adalah faktor: struktur ekonomi-politik pasca Orde Baru yang rerlatif  masih mempunyai kesinambungan dengan kejayaan Orde Baru. Nah, kalau cara pembacaan seperti ini dipakai, bagaimana menempatkan pergulatan proffesionalisme Polri ?  Hemat saya,  tidak lain kita mencarikan alamat persoalnnya pada elit politik dan ekonomi negeri ini.

 

 

Wallahu alam....

 

 



[1] . Diskusi serius ikhwal ini dapat diperiksa Daniel Little, “Varieties of Social Explanation” (1991). Katanya, functional explanations seek to explain a feature of society in terms of the beneficial consequences it has for the larger social system, (hlm.91).  
 
[2] . Lihat, Irving Zetlin.1995.Memahami Kembali Sosiologi: Kritik terhadap teori sosiologi kontemporer, terj. Anshori dan Juhanda, Gajah Mada University Perss, Yogyakarta, halm 8.
 
[3] .  Hayek, Frederich A.2001.The Road to Serfdom, Routledge, London.  Buku ini diterbitkan dan  deterjemahkan ke bahasa indonesia atas kerja sama Freedom Institute dan Frederich Nauman Stiftung tahun 2011 dengan judul Ancaman Kolektivisme.
 
[4] . Disini Muradi  (pada halm. 4)  mengembangkan  cara berfikir  Hogg dan Findlay, “one of the characteristic a professional police is that it should be independent in it role and function
[5] . Periksa, misalnya, Ian Craib.1986.Teori-teori Sosial Modern, terj. Paul S. Baut dan T. Efendi, Rajawali Press, Jakarta, halm.63.
 
[6] . Emile Durkheim.1964.The Rule of Sociological Method, The Free Press, New York.   
[7] . Elaborasi secara lengkap dapat ditelusuri  pada Disertasi  Sutrisno, PPS-Sosiologi  Universitas Indonesia,  2012. Mohon maaf, pengkalimatan sejumlah paragraf  bagian ini pun berasal dari disertasi ini. Jadi dengan sadar, sedadar-sadarnya, bahwa agaknya konteks penulisan makalah ini sedikit mengandung plagiasi, tepatnya “self-plagiation” karena mengutip karyanya sendiri dari tulisan peruntukan yang berbeda. Sekali lagi, mohon maaf. Siap salah.