Jumat, 11 Desember 2015


Bedah Buku

Muradi.2014. Politics and Governance in Indonesia:  The police in the era reformasi, Routledge, London and New York

------------------------------------------------------------------------------------------
Dr. Sutrisno


Polri pasca pisah dengan TNI menjadi perhatian serius  buku ini. Utamnya, tentu saja, menelusuri ikhwal  yang membelit ‘bekerjanya’ Polri:   sebagaimana ditulis pada hal.3, ”... to discuss how the process the Polri’s disassociation from the ABRI has been working...”   Profesionalisme dan independensi Polri diletakkan sebagai  sentra penelusuran  penulisan. Dua konsep ini – meminjam cara weberian – merupakan  orientasi  dalam mengkonstruksi ‘tipe ideal’, sehingga seluruh energi – termasuk pertanyaan yang dibangun – pada dasarnya berputar-putar pada dua konsep itu.   

 

Mencari  faktor  profesionalisme dan independensi  Polri

Bagaimana menyasar faktor yang dapat menjelasakan persoalan profesionalisme dan independensi  Polri  ?  

Hemat saya, cara penelusuran untuk menemukan faktor-faktor profesionalisme (dan independensi) Polri  yang dipakai Saudara Muradi menggunakan langgam functionan explanation [1]. Kalau merujuk pada raksasa ilmu sosial cara ini ketemu pada sosok Emile Durkheim. Tentu saja, pentipologian eksplanasi (atau penelitian) semacm ini  bersifat “longgar” saja.  Tetapi, dalam acara Bedah Buku semacam ini  mendiskusikan tipologi eksplanasi ini agaknya  penting dalam kerangka “kesadaran” perspektiv : bahwa realitas sosial  itu betapapun dilihat secara kuat dan komprehensif  tetap saja bersifat perspektival. Tipologi berpikir Durkheimian-functionan explanation merupakan  mainstream  di bangku-bangku akademik. Tipologi  diluar mainstreim, misalnya, model yang dipakai mazdhab Frankfurt, ‘materialis’-marx,  hermetitika, dan yang ditawarkan kalangan posmodern (Derrida, Foucault, Richard Rorty) hemat saya merupakan  tipologi minor. 

Meskipun  pendekatan struktural fungsional juga  mempunyai keragaman namun pada prinsipnya, epistemologi yang dipakainya memandang realaitas sebagai  ‘homeostatik’: masyarakat selalu bergerak ke arah keseimbangan, keteraturan; masyarakat diikat oleh konsensus bersama. Bagaimana memandang “persoalan”, yang ipso facto menjadi perhatian penelitian ini ? (in case, konsen Sdr. Muradi pada profesionalisme dan independensi Polri post pisahnya dari ABRI).  “Persoalan” yang secara umum  acapkali depahami sebagai kesenjangan das sein dengan das solen,  disini  dalam  pendekatan Durkheimian,  mendefinisikan sebagai: elemen-elemen tidak memberikan kontribusi terhadap homeostatik/integrasi; elemen itu diprediksi dalam  keadaan disfungsi atau malfungsi.

    Oleh karena itu kalau ada “persoalan” dalam sebuah entitas sosial maka untuk menjawabnya harus dirunut pada elemen-elemen sosial yang membangunya. Karena asumsinya elemen-elemen sosial yang lain itulah yang memengeruhi hadirnya  “persoalan” (persoalan profesionalisme dan independensi Polri). Tetapi kemudian, mengapa elemen yang lain itu rusak hingga mempengarhui profesionalisme Polri ?  Jawabnya, karena elemen yang rusak itu dipengaruhi elemen yang lainya yang rusak juga. Ya, mengapa elemen yang lainnya itu rusak ? Jawabnya, ya, elemen yang rusak itu disebabkan oleh elemen lain yang rusak juga.  Begirtu seterusnya.  Ini watak penjelasan ‘homeostatik’ yang menggunakan analogi biologis.  Istilah ‘elemen sosial’ tidak mempunyai difinisi yang ketat. Sehingga yang dimaksud  bisa institusi, bisa sistem, bisa lembaga, bisa budaya, regulasi, dan lain-lain. Tetapi yang jelas istilah itu tidak dialamatkan pada “kepentingan”, karena “kepentingan” adalah bahasa materialisme-marxian. Jadi, perlu digarisbawahi, tidak ada kosa kata ‘kepantingan’ atau benturan ‘kepentingan’ sehingga tidak ada pula konsep-konsep derivasinya yang meliputi ‘dominasi’, ‘hegemoni’, ‘eksploitasi’  dan seterusnya.  

 

            Kritisisme dalam Fungsionalime Struktural

Tentu saja, bukan berarti  penjelasan struktural fungsional itu tidak bisa kritis dibandingkan dengan pendekatan materialisme-marxian dan Madzhab Frankfurt. Konsep-konsep seperti disfungsi dan malfungsi menjadi bentuk ‘kritisisme’ pendekatan yang subtantif digunakan Sodara Muradi.   

Bahkan belakangan ini  dalam perkembangan  fungsionalisme  muncul konsep-konsep yang lebih canggih, misalnya, selain disfungsi dan malfungsi di atas, adalah ‘eufungsi’ dan ‘distruktur’. Dua konsep ini menelanjangi bahaya “integrasi” dalam masyarakat.[2] Terus terang, saya yang berkecimpung dengan dunia sosiologi lebih dari 20 tahun belum pernah membaca karya (artikel/makalah/tesis/disertasi) yang menggunakan dua konsep ini. Mungkin, paralelisme dua konsep itu  bisa diikuti melalui cara pembacaan yang dilakukan oleh Frederick Hayek[3], seorang pemikir ekonomi-politik liberal kelahiran Wina (1899 – 1992),  tentang persoalan-persoalan kolektivisme. Konsep ‘integrasi’ dengan berbagai derivasinya ke dalam bahasa Indonesia, seperti: ‘kebersamaan’, ‘gotong royong’, ‘keseragaman’  dan lain-lain mendapat serangan.

Di sini, realitas tidak bisa dibaca secara linier. Misalnya, tentang “independensi Polri”, hemat saya tidak bisa sepenuhnya dibaca menggunakan ‘cetak biru’ preskripsi Trias Politika-nya Montesque. Dalam praksis, (alasan) independensi digunakan sebuah institusi negara untuk ‘menutup’ diri dari dialog-diskursiv ala Habermas.

 

Imperativ Kategorik vs. Hipotetikal Kategorik. Hubungan antara profesionalisme dengan independensi seperti dua sisi dalam satu koin[4]. Proposisi  semacam ini, meminjam langgam berfikir Frederich Hayek, adalah cara menghubungkan dua konsep yang salah kaprah. Karena, ‘profesionalisme’ adalah konsep undefinite, atau imperativ kategorik ;    sementara ‘independensi’ mempunai dimensi yang komplek, ia bukan sekedar  konsep/variabel yang  gradativ (ordinal ?) tetapi didalamnya mengandung exception  atau  hipotetikal kategorik.

 Ada apa dengan konsep  independensi ?  Independensi institusi dalam demokrasi tidak bisa sepenuhnya telanjang, maksudnya supaya tidak terjadi monopoli tafsir atas realitas. Karena bukankan adab demokrasi itu realitas ditafsir secara bersama!  Dalam kerangka ini amatlah perlu  struktur yang mengkordinasikan antar elemen/institusi, sebagaimana diisyaraatkan Ralf Dahrendorf  dengan ICA nya: imperatif coordination association. Maka, hemat saya, pembacaan Trias Politika yang menyemangati  independensi Polri tidak bisa menanggalkan  ICA nya Dahrendorf.

Kembali ke cara pendekatan klasik di atas. Meminjam Durkheim, ‘fakta sosial harus dijelaskan dengan fakta sosial lainnya’. Proposisi ini menjadi formula: kerusakan suatu  elemen penyelenggara negera harus dijelaskan melalui elemen-elemen lain. Elemen-elemen sosial itu begitu luas, bisa berada di luar dirinya atau di dalam dirinya, sebagaimana komentar Guy Rocher[5] terhadap Talcot Parson yang  Durkheimian itu,   bahwa sistem itu ibarat a set of chinese boxes, didalam kotak masih ada kotak lagi, dan lagi, dan lagi.    Jadi, cara ini dipakai  oleh Muradi :   profesionalisme Polri (dan independensi) dilacak pada dua faktor besar (pada halaman 2 disebutnya sebagai ‘major problem’). Pertama, masalah eksternal, hubunganya Polri sengan TNI, pemerintah (lokal), illegal income, prostitusi, judi, dan lain-lain. Kedua, masalah internal, meliputi budaya institusi, finansial, kepemimpinan, skill.

 

Polisi, Negara, dan Masyarakat Sipil

Hubungan antara profesionalisme  dan indepensensi  Polri dengan sejumlah faktor di atas bersifat fungsional (function). Bedakan istilah function (fungsi) ini dengan “faedah” dalam bahasa arab atau bahasa indonesia. Yang dimaksud dalam istilah ini adalah orientasi metodologis bahwa ‘konsekwensi’, bukan penyebab, dari sebuah fenomana empiris menjadi fokus perhatian analisisnya[6]. Tentu saja, yang mau dikatakan Saudara Muradi,  profesionalisme  Polri diletakan sebagai variabel yang akan dijelaskan (variabel dependen). Hemat saya, sayang sekali tidak menimbang faktor kekuatan infrastruktur sosial diluar state  seperti organisasi masyarakat sipil (OMS). Padahal, gerakan masyarakat sipil ini, khususnya melalui OMS cukup signifikan memberikan warna merah hijau kuningnya terhadap institusi negara yang secara langsung berurusan dengan (kebebasan) sipil. Hemat saya,  melalui Undang Undang Perss dan juga Undang Undang Kebebasan Informasi Publik  hubungan state dengan masyarakat sipil berubah secara total  dari sebelumnya. Disini kiprah  OMS  menjadi amat kuat oleh karena itu perlu diperhitungkan sebagai variabel independen. Dalam transisi demokrasi  Polri mempunyai hubungan ‘spesial’ dengan (gerakan) masyarakat sipil, karana gerakan masyarakat sipil ini dalam banyak dimensi secara langsung bersentuhan terhadap tugas-tugas kepolisian. Ini hampir merupakan fenomena umum.

Tetapi, tentu saja pengabaian terhadap  kekuatan non-negara terhadap ‘cetak biru’ institusi negara --sebagaimana dilakukan Muradi-- tidak akan mengurangi ketajaman analisisnya. Karena hal semacam ini akhirnya adalah sebuah pilihan atas batasan ruang lingkup kancah penelitian. Ketajaman dan kekuatan analisis tidak ada hubungan dengan keluasan cakupan faktor yang akan dianalisis. Barangkali, kalau Saudara Muradi memasukan (variabel) penjelas OMS  terhadap institusi kepolisian maka pendekatannya pun akan bergeser agak ke “kiri”, agak marxian. Mengapa ?  Penelusuran, misalnya,  sejak era Orde Baru terhadap hubungan civil society dengan institusi negara, tidak bisa sekedar menjelaskan bahwa  lemahnya OMS, terus titik. Tidak bisa  titik  disini,  lemahnya kekuatan sipil (OMS) ini tidak (pernah) given, tetapi ia memang dibuat lemah.

Namun, apakah pada era pasca pisahnya polisi dari TNI juga  OMS ini dibuat lemah ?   Struktur  relasi negara – masyarakat sipil sudah sedemikian bergeser sejak pasca tahun 2000. Sejumlah undang undang, seperti UU Pers, UU Keterbukaan Informasi Publik, dan lain-lain memperkuat posisi  OMS dihadapan negara. Disinilah signifikansinya, justru ketika  OMS ini mempunyai posisi kuat dihadapan negara maka perlu ia diperhitungkan dalam memberikan warna terhadap instrumen negara.    Pengertianya, analisis relasi negara versus masyarakat sipil sudah tidak lagi relefan menggunakan konsep-konsep marx- klasik seperti dominasi, pengekangan, (bahkan hegemoni), apalagi eksploitasi, meskipun dimensi konsep ini sesekali ada.  ‘Sumber daya kekuasaan’dalam dimensi regulatif antara  state (baca: kepolisian) dengan CSO cenderung mendekati keseimbangan sehingga konsep-konsep dominasi dan pengekangan tidak lagi bisa dipakai. Identifikasi terhadap kekuatan masyarakat sipil (OMS) tidk pula relefan ditelusuri dari interfnsi negara (atau dalam hal ini polisi). Tetapi lebih “murni” menyangkut persoalannya sendiri, seperti kondisi burgerlich-nya.     

 

Democratic Policing

Sebagai sebuah konsep, democratic policing bukanlah ‘barang jadi’ yang mudah difahami di kalangan kepolisian. Alih-alih, jangankan di kalangan kepolisian yang acapkali  memahami banyak hal mkelalui instruksi, di lingkungan akademisi dan penekun ikhwal kepolisian  sendiri konsep ini tidak ‘duduk’ benar. Barang ini mamang tidak mudah difahami! Dibawah ini ilustrasi  simpang siur konsep ini dalam sebuah diskusi. [7]      

Sebuah  Forum Group Discussion hasil penelitian bertajuk “Seminar Hasil Penelitian Kompolnas di Tiga Polda (Polda Sumut, Jateng, dan Kaltim) Tentang Penerapan Pemolisian Demokratis”, 2 November 2008 di Hotel Aryadhuta meletakkan istilah  “pemolisian demokratis” dalam judul seminar  menjadi materi diskusi yang menyita waktu hampir separuh sepanjang diskusi. Judul penelitian sebagaimana terpampang pada spanduk seminar bukan sekedar istilah baru dalam khasanah kepolisian,  oleh beberapa peserta istilah ‘pemolisian demokratis’ dipandang sebagai telah lepas dari konteks.  Padahal penelitian ini diawaki oleh sejumlah mantan pejabat Polri.

Bachtiar Ali dan Sarlito Wirawan yang kerap dipakai sebagai “think thank” Kapolri berkeberatan dengan penggunaan istilah itu. Alasannya istilah ‘Polisi demokratis’ tidak dikenal dalam Undang-Undang  no. 2 Tahun 2002. Bagi Bachtiar Ali, polisi tidak dirancang untuk berdemokrasi dalam tugasnya, ia adalah penegak hukum. Baginya, tidak ada diskusi, kompromi, dan tawar menawar dalam melakukan tugas penegakan hukum. Kiprah polisi dalam tugas tak perlu dikaitkan dengan  demokrasi. Demokrasi hanya di Senayan dalam  proses pembentukan undang-undang. Ketika hukum dan sejumlah produk hukum terbentuk demokrasi tak lagi ada, yang ada adalah konstestasi antara praktik aparat Negara di satu sisi yang diamanatkan menjaga kewibawaan hukum dan Negara dengan pelanggar hukum. Hukum itu betapapun “bopeng” wajahnya bagi polisi hanya wajib bertugas mengamankannya.

Agaknya paralel dengan Prof. Muladi, mantan Penasehat Kapolri,  dalam orasi ilmiahnya di PTIK, 17 Juni 2006,  bahwa polisi dalam mengendalikan ketertiban masyarakat  mendayagunakan formasi paramiliter. Yaitu bergerak bersama dalam kesatuan dan harus taat pada perintah komanadan. Namun karena tugas utama polisi adalah melindungi orang, bukan membunuhnya, menerapkan budaya militer murni pun tidak terlalu kena. Dalam masyarakat demokratis masih didiskusikan persoalan langkah-langkah pemolisian (the goal of policing). Muladi merujuk Henry Wrobleski dan Karen Hess (2006),  paling tidak langkah – langkah pemolisian dalam masyarakat demoratis, seara tradisional adalah; a) penegakkan hukum (inforce laws); b) menjaga suasana kedamaian (preserve peace) ; c) mencegah kejahatan ( prevent crimes) ; d) melindungi hak – hak dan kebebasan individu (protect civil right and civil liberties); e) menyelenggarakan pelayanan (provide service).  Namun kemudian perkembangannya mengikuti  kontekstualitas masyarakat/negara, sehingga “community policing” menjadi konsep penting dalam pelaksanaan program pemolisian demokratis  itu. Dua tujuan penting dalam pemolisian demokratis ini adalah menciptakan kemitraan dengan masyarakat (forming partnership with the community), dan penerapan pendekatan proaktif dalam memecahkan masalah kejahatan, rasa takut terhadap kejahatan dan pencegahan kejahatan.

Wacana polisi dalam demokrasi dari uraian Muladi lebih terletak pada penekanan  pendekatan (tugas) polisi dalam realsinya dengan masyarakat. Tidak lagi menempatkan masyarakat sebagai obyek, dimana polisi secara superior mendefinisikan secara otonom segala hal ikhwal kejahatan (crime) dan ketertiban (order) di tengah masyarakat. Bukan “negotiable” soal kejahatan yang sudah jelas dipatri dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana, seperti yang dikhawatirkan Bachtiar Ali, bukan disini ruang polisi dalam demokrasi.

 Momo Kelana, ketua peneliti dari LCKI  berpandangan  pemolisian demokratis  mengatasi term pemolisian masyarakat. Diskusi istilah ‘pemolisian demokratis’ ini menunjukkan dua kemungkinan gejala. Pertama, adanya simpang siur di sejumlah kalangan opinion leader (elit kepolisian dan kalangan umum-akademik) terhadap  realitas gagasan sejauh mana kompatibilitas (compatibility) demokrasi di tubuh kepolisian.  Kedua, bagaimana menempatkan polisi dalam tatanan demokrasi. Poin kedua ini menyangkut persinggungannya dengan masyarakat, pada level ini tidak terlalu memakan energi perdebatan di dalam tubuh kepolisian. 

 

Konstruksi Etik - Emik Democratic Policing

Terlapas dari perdebatan itu, bagaimana secara koheren konsep Democratic Policing  ini dikonstruksi ?  Muradi mengacu pada Bailey dan Dammert, “democratic policing is defined as a policing in democratic countries where practicing must be in accordance to the norm usually held in democratic countries”.  Frase  norm usually held in democratic countries ini sangat krusial dalam setiap pendefinisian karena frase ini ‘mengikat’ semua pendefinisian  yang ada, termasuk perdebatan di atas.  Hemat saya,  tak perlu lagi dipertanyakan secara analitik perihal ‘apa itu norm in democratic’ yang tentu saja puluhan literatur membarikan keterangan soal ini ; tetapi,  siapa yang mendifinisikan norm  ini?  

Pertama, norma (norma demokratik) ini didefinisikan secara etik. Sejumlah teoritisi mendefinisikan apa yang dimaksud norma dalam demokratic policing ini.  Sehingga didapatkan  sejumlah kriteria atau ciri-ciri penerapan demokratic policing  yang diperoleh secara deduktif, meskipun ciri-ciri ini dalam detailnya  berbeda namun secara prinsip terdapat kesamaan.  Baik  Muradi dengan cara merujuk Bailey maupun peneliti senior Momo Kelana yang diurai di atas menggunakan  penggunaan cara etik ini. Begitu juga Muladi yang merujuk  Henry Wrobleski dan Karen Hess. 

Kedua, norma democratic policing  ‘dirumuskan’ secara emik. Semangat ini berasal dari J. H. Skolnick (1999). Ujarnya,  the role of police power in a democracy should be the expression of social consensus”.  Masyarakat pada sadarnya tidak “aware” dengan konsep-konsep dan kritieria yang dipegang dalam rumusan sebagaimana yang dilakukan kalangan perumus etik, tetapi prinsipnya kerja dan (power) polisi dibutuhkan sebagai ekspresi dari konsensus masayarat. Jadi, disini  nyaris tidak ada rumusan tentang apapun  bagai kepolisian dalam mengartikulasikan perannya dan fungsinya. Ttidak ada kerangka  norma eduktif karena norma itu justru harus tumbuh dari induktif, dengan apa yang disebut “social consensus”. Dengan demikian  democratic policing  harus dilihat sebagai proses, bukan out come. Gerry T. Mark menyebut,  Democratic policing should be viewed as a process not  an outcome.  

 

 

        Refleksi

Ø  Buku ini dengan sangat teliti mampu menggambarkan wajah Polri pasca pisah dengan TNI,  utamanya  pergulatannya dalam dua hal: independensi dan profesionalisme. Hemat saya, titik tumpu penggambaran dan penjelasan ini diletakan pada level interkasi/relasi di tubuh state sendiri. State sebagai entitas sosial yang ‘mandiri’ sehingga ‘merah hijau kuning’-nya terisolasi dari infrasturktur sosial (masyarakat sipil).

Kalau secara simpel harus menjawab pertanyaan, apa yang mempengaruhi   wajah Polri,  buku ini memberikan jawaban  pada level suprastruktur,  ketimbang kekuatan infrastruktur politik. Tentu saja, judulnya saja ‘Politics and Governance in Indonesia’.

 

 

 

Ø  Asumsi. Asumsi penelitian ini sudah membatasi diri dari kemungkinan realitas konfliktual, kalaupun harus menyentuh terminologi konflik tidak dialamatkan pada ‘kepentingan’  tetapi dialamatkan kepada problem sistem.

 Implikasi dari poin ini adalah pada penelusuran pencarian faktor yang  membingkai realitas (profesionalisme dan independensi Polri), yang  dilacak pada eksternal dan internal. Padahal hemat saya  diluar state, ada  civil society, tepatnya organisasi masyarakat sipil  cukup kuat membuat merah-hijau-biru  wajah Polri.

  

Ø  Dalam pembacaan yang agak makro, melacak pada literatur semacam Boucher, Havidz, Aditjondro, resistensi yang paling serius dalam pengembangan demokrasi pasca 1998 adalah faktor: struktur ekonomi-politik pasca Orde Baru yang rerlatif  masih mempunyai kesinambungan dengan kejayaan Orde Baru. Nah, kalau cara pembacaan seperti ini dipakai, bagaimana menempatkan pergulatan proffesionalisme Polri ?  Hemat saya,  tidak lain kita mencarikan alamat persoalnnya pada elit politik dan ekonomi negeri ini.

 

 

Wallahu alam....

 

 



[1] . Diskusi serius ikhwal ini dapat diperiksa Daniel Little, “Varieties of Social Explanation” (1991). Katanya, functional explanations seek to explain a feature of society in terms of the beneficial consequences it has for the larger social system, (hlm.91).  
 
[2] . Lihat, Irving Zetlin.1995.Memahami Kembali Sosiologi: Kritik terhadap teori sosiologi kontemporer, terj. Anshori dan Juhanda, Gajah Mada University Perss, Yogyakarta, halm 8.
 
[3] .  Hayek, Frederich A.2001.The Road to Serfdom, Routledge, London.  Buku ini diterbitkan dan  deterjemahkan ke bahasa indonesia atas kerja sama Freedom Institute dan Frederich Nauman Stiftung tahun 2011 dengan judul Ancaman Kolektivisme.
 
[4] . Disini Muradi  (pada halm. 4)  mengembangkan  cara berfikir  Hogg dan Findlay, “one of the characteristic a professional police is that it should be independent in it role and function
[5] . Periksa, misalnya, Ian Craib.1986.Teori-teori Sosial Modern, terj. Paul S. Baut dan T. Efendi, Rajawali Press, Jakarta, halm.63.
 
[6] . Emile Durkheim.1964.The Rule of Sociological Method, The Free Press, New York.   
[7] . Elaborasi secara lengkap dapat ditelusuri  pada Disertasi  Sutrisno, PPS-Sosiologi  Universitas Indonesia,  2012. Mohon maaf, pengkalimatan sejumlah paragraf  bagian ini pun berasal dari disertasi ini. Jadi dengan sadar, sedadar-sadarnya, bahwa agaknya konteks penulisan makalah ini sedikit mengandung plagiasi, tepatnya “self-plagiation” karena mengutip karyanya sendiri dari tulisan peruntukan yang berbeda. Sekali lagi, mohon maaf. Siap salah.

Jumat, 20 Februari 2015

Prospek Reformasi Sektor Keamanan


Prospek Reformasi Sektor Keamanan
(Sebuah Pendekatan Sosiologi Politik)


Jika hari ini sama dengan hari kemari, berarti kau merugi
Muhammad SAW

 ‘Sektor keamanan’ bukan terminologi yang difahami secara seragam, utamanya  mengenai aktor-aktor keamanan yang terlibat didalamnya. Tulisan pendek ini membatasi aktor keamanan secara minimalis, hanya menyangkut militer dan kepolisian, bahkan lebih khusus konsentrtasi pada institusi kepolisian. Kalau pergeseran format tata kelola sektor keamanan sebagai bentuk mengadaptasi lingkungan global, lingkungan global ini pada dasarnya terus bergerak. Artikel pendek ini adalah pembacaan atas bergeraknya lingkungan global yang memungkinkan ‘menembus’ sektor tata kelola keamanan itu.


Prolog: Isu Sentral Reformasi Sektor Keamanan
   
Pergeseran konstelasi kekuatan pada tingkat global, yang dimulai dengan bangkrutnya ideologi kiri pada dasawarsa 90-an menjadi isu mendasar bagi reformasi tata kelola keamanan di Indonesia.  Tentu saja secara normatif pembaruan tata kelola  sektor keamanan ini harus tetap diletakkan dalam bingkai peta besar reformasi.  Disinilah persoalannya, justru peta besar ini nampaknya masih ‘ghoib’ di  sepanjang lebih dari satu dasawarsa ini. Yang membantu untuk membaca peta ‘ghoib’ ini hanyalah sebuah asumsi dasar  tentang paradigma baru yang menempatkan  masyarakat sebagai asset dalam ikhwal keamanan dan order/keteraturan,  masyarakat bukan lagi dilihat sebagai kendala (obstacle).   A Centre for Security Development and The Rule of  Law (DCAF), misalnya, menyebutkan, “security sector reform is based on the assumption that societies are better off with a security sector that is an asset, not an obstacle, to peace, security, development and stability”.  

Namun demikian tetap sajan di kalangan aktor-aktor pengendali keamanan -- juga para pengkritiknya -- bekerja keras menafsir barang ‘ghoib’ ini. Tolok ukur yang lebih operasional dalam menafsir asumsi dasar ini adalah upaya membangun format yang kompatabel antara  struktur institusi keamanan dengan demokrasi dan apa yang terjadi pada skala global. Disini juga mengandung persoalan, seakan-akan demokrasi berwajah tunggal dan konstelasi global bersifat konstan.[1] Misalnya, gagasan Montesque perihal pemisahan kekuasaan (trias politika) dipandang sebagai kitab suci dan dibaca secara skriptual. Padahal, dalam ‘laboratorium’ sepuluh tahun lebih reformasi Indonesia memberikan pelajaran bahwa pil trias politika ini tidak bisa serta merta ditelan bulat-bulat.[2] Pasalnya semangat pemisahan kekuasaan justru menjadi energi bagi  argumentasi  ego sektoral institusi.

Itulah sebabnya banyak institusi -- bukan sekedar kepolisian -- (merasa) melakukan yang legal (legalitas) tetapi minus legitimasi. Legalitas adalah ikhwal kesesuaian antara tindak kekuasaan atas tata aturan main tertulis; legimasi bukan semata-mata menyangkut aturan main tertulis tetapi respon atas moral universal. Sementara term “reformasi”-pun bukanlah suatu gagasan yang telah selesai dan utuh. Sekedar mengajukan batasan yang ‘aman’ bagi definisi term reformasi ini, adalah:  sebuah pencarian format baru dari otoritarian ke arah  tata kelola kehidupan yang demokratis dan beradab. Kalau definisi ini diterima  berarti reformasi merupakan  proses yang tidak pendek karena pada dasarnya menyoal secara terus menerus prinsip-prinsip adaptasi  struktur, kultur dan proses institusi atas  lingkungan yang berkembang di luarnya.

Secara analitik paling tidak terdapat dua kondisi yang melatari  perlunya reformsi sektor keamanan. Pertama -- dan paling utama -- pergeseran konstelasi kekuatan pada tingkat global, khususnya setelah rontoknya sejumlah negara-negara  berhaluan (ideologi) kiri. Kedua, menyangkut postur dan sistem keamanan dalam negeri yang tidak efisien dalam merespon nilai demokrasi. Disini,  di sisi militer,  ruang tugasnya yang secara de vacto maupun de jure terlalu gemuk.  Kegemukan ruang tugas militer secara langsung  mengganggu ruang kerja sipil yang menjadi raison de etat  format demokrasi[3]. Kegemukan ruang tugas ini juga mengganggu konsentrasi institusi pada tugas-tugas utamanya (kemampuan perang, profesionalisme militer). Sementara di sisi  institusi kepolisian adalah pada pewarisan nilai-nilai selama lebih dari 30 tahun dibawah pembinaan militer. Kondisi ini bukan sekedar pewarisan budaya tetapi juga menyangkut implikasi pada postur, organisasi, dan hubungan antar subsistem di dalam institusi ini.

Konstelasi global tahun 90-an menjadi poin yang sangat serius dalam menimbang-ulang  tata kelola keamanan nasional.  Dalam kerangka Daniel Bell, rontoknya negara-negara berhaluan ideologi kiri dibaca sebagai The End of Ideology. Padahal Bell menulis bukunya tahun 1960, namun resonansinya baru terasa secara kuat setelah pecahnya Uni Sovyet pada awal tahun 90-an itu. Tesis Bell ini tidak sendirian, intelektual kharismatik Amerika dan Perancis menguatkannya pada saat itu, seperti Martin Seymour Lipset[4] dan Raymond Aron[5]. Sepuluh tahun kemudian, barangkali melalui Francis Fukuyama[6] tesis ‘endisme’ ini  baru sangat terasa menguat terjadi di Indonesia. Dalam The End of History-nya Fukuyama  berarti bangkrutnya ideologi kiri, ini berarti pula aneka dimensi kejahatan mudah bergerak menembus batas-batas administrasi kekuasaan negara klasik dan geografis: aktor keamanan menghadapi tantangan kejahatan dengan wajah baru [7].

Jadi, Fukuyama sebetulnya bukanlah mengintrodusir tesis baru perihal rontoknya ideologi kiri kaitannya dengan tata kerja internasional (the international order).  Yang baru adalah ‘momen politis’-nya. Posisi sosial Fukuyama pada waktu itu sebagai Staf Depertemen Luar Negeri Amerika Serikat. Posisi Fukuyama ini dicurigai sebagai istimewa yang mengantarkan  berkelindannya hubungan  antara hard power dengan soft power.  Menjadi catatan penting dalam kerangka ini, ketika Fukuyama menulis The End of History adalah  bersamaan dengan munculnya  benih persoalan yang mengganggu  hubugan  Rezim Soeharto dengan Amerika Serikat. Hingga pada tahun 1993 Presiden Bill Clinton mendukung resolusi Komisi Hak Asasi Manusia PBB yang mengungkapkan kerpihatinan terhadap Rezim Soeharto atas pelanggaran hak asasi manusia [8]. Menjelang lima tahun setelah ‘serangan’ delegitimasi  Bill Clinton itu, tahun 1998  Presiden Soeharto ditekan mundur kalangan mahasiswa. Amerika tidak ‘jauh-jauh’ menempati posisi istimewa dalam rangkaian peristiwa jatuhnya rezim Soeharto. Terminologi yang dapat mewakili peristiwa ini dihubungkannya dengan pergeseran kepentingan kapital Amerika pada tingkat global: Power in Motion, meminjam Jefery Winters[9].

Signifikansi Ruh Pendiri Bangsa dan Kematangan Masyarakat Sipil
Terlepas dari spekulasi tentang seberapa kuat pengaruh global atas pergeseran kekuasaan  di tingkat nasional, runtuhnya negara-negara berideologi kiri secara simultan menguatkan wacana HAM. Ini berarti rezim kekuasaan tidak bisa lagi main-main terhadap isu hak asasi manusia.  Penghargaan terhadap (hak) individu membuncah. Gagasan ini mendapatkan wadah regulasi-institusionalnya pada konsep human security. Relasi negara dengan  masyarakat sipil dalam wacana baru  dasawarsa 90-an menggambarkan hubungan jungkat-jungkit (see-saw): negara mengerut, (hak) individu/publik mengembang.  Derivasi wacana human security  bukan sekedar menyangkut urusan jaminan atas freedom from fear tetapi juga pada freedom from want. Disinilah dilematika peran negara pasca reformasi: negara yang (telah) mengkerut  secara subtantif menghadapi persoalan memenuhi tataran peran  freedom from want. Demokrasi yang dibaca melulu pada liberalisasi memang menggairahkan sektor ekonomi, utamanya  menggelembungkan sektor privat (swasta) tetapi, lagi-lagi, konsekwensinya  mengerutkan peran negara. Disinilah proyek lanjutan dari reformasi sektor keamanan.  Jadi, pada dasarnya instrumen good governance yang acapkali melekat dalam proyek reformasi sektor keamanan tidak lain bertujuan memperkuat kemampuan negara dalam mengemban amanah  freedom from want, bukan sekedar   freedom from fear[10].

Pada sisi lain sulit dalam kondisi semacam di atas menghindari masuknya para pemain sektor bisnis (interprise) pada ruang-ruang politik. Apa soal dengan realitas ini? Tidak  soal memang dari sisi (prosedural) demokrasi, namun pada derajat yang cukup serius -- atas nama demokrasi --  tidak ada lagi senjata untuk menangkis hadirnya ‘kapitalisasi politik’. Istilah ‘kapitalisasi politik’ mengacu pada pengertian bahwa politik dipandang sebagai komoditas. Politik adalah  industri kekuasaan, ia hanya menjadi elemen kecil dari proses produksi.  Pemain bisnis belakangan mulai menyadari bahwa proses produksi berkembang semakin kompleks yang harus mamasukan unsur politik , dimana sebelumnya alat-alat produksi yang menyumbang  proses produksi ini hanya meliputi modal, tenaga kerja, skill, dan informasi. Sektor interprise menjadi infrastruktur atas suprastruktur  politik. Meminjam penuturan Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat, Kiki Syahnakri dalam Harian Kompas 17 Januari 2013,  “...kapitalisme juga membuka peluang bagi institusi korporasi (termasuk asing) untuk turut pengatur sistem politik”.  Untuk penguatan proposisi ini pada tingkat global dapat ditemui dalam The Corporation karya Joel Balkan.[11]

Yang menjadi persoalan dalam kondisi ini   keamanan (baca: situasi aman) bergeser dari public sector ke arah privat sector. Atau, paling tidak dua sektor ini cenderung menjadi kabur.  Mem-blok separuh jalan untuk acara perkawinan; raung forwider membuka jalan ditengah keramaian untuk lewatnya  pelaku bisnis; proses atas nenek pencuri kakao atau pencuri sendal jepit yang kontras dengan melenggangnya sejumlah penjahat birokrasi; dan  limbungnya definisi rahasia negara (lihat, misalnya, undang undang intelejen negara)  merupakan gambaran kaburnya –meminjam Emile Durkheim – apa yang dianggap ‘sakral’  dalam masyarakat.  Tantangan utamanya berkenaan dengan  peran negara dalam mewujudkan freedom from want.  

Sejumlah ‘terapi’ struktural digelontorkan sepanjang kurang lebih sepuluh tahun setelah tahun 2000.[12]  Pada prinsipnya ‘terapi’ struktural merupakan  upaya menemukan titik kompatibilitas antara  pembaruan tata kelola keamanan terhadap pergeseran konstelasi global.   Ini dimulai dari keluarnya Tap MPR Nomor VI dan Tap MPR Nomor VII. Meskipun Tap MPR Nomor VII cenderung mengandung persoalan aplikabilitas, misalnya khusus menyangkut postur dan fungsi Lembaga Kepolisian Nasional (Kompolnas). Hemat Penulis, diluar persoalan postur dan fungsi Lembaga Kepolisian Nasional merupakan issu feri-feral (masalah pinggiran yang tidak terlalu penting). Misalnya, posisi kepolisian di bawah Presiden, juga termasuk feri-feral karena struktur ini bukanlah tidak mempunyai keabsyahan (teori) demokrasi,[13]selain realitas empirik tidak cukup signifikan mempersoalkan isu semacam ini[14].  Para ‘penyerang’ struktur semacam ini pada dasarnya sublim dan mudah patah. 

 

Akhirnya , reformasi sektor keamanan akan lebih signifikan bukan  melalui academic exercise gagasan-gagasan besar yang acapkali spekulatif semacam ini tetapi pada kekuatan kontrol atas praktik fungsi dan peran yang dimaikan aktor keamanan sehari-hari.  Disini membutuhkan tingkat kematangan masyarakat sipil itu sendiri untuk memungkinan kuatnya kontrol secara masiv. Bahkan, faktor (kematangan) masyarakat sipil ini bagi Juan J. Linz[15], misalnya, menjadi prasyarat utama bagi konsolidasi demokrasi. Kematangan masyarakat sipil (sebagi kontrol) ditandai dengan hadirnya bugerlich. Mereka berkumpul dalam  asosiasi-asosiasi non politik tetapi mempunyai kepentingan yang sama, dan mereka cenderung berani melindungi kepentingannya secara kolektif yang  mungkin saja di/terampas negara.[16]  Kekuatan masyarakat sipil melalui instrumen bugerlich  ini  mempersyaratkan ke kondisi sosiologis : kemampuan mengauasan teknologi ‘know how’ organisasi dan menggunakan kecakapan legalitas (hukum). Bugerlich tidak bisa “dipaksakan” tetapi tentu membutuhkan basis pendidikan yang cukup. Kemudian ‘difasilitasi’ melalui instrumen-instrumen demokratik, misalnya kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan kebebasan berserikat. Seandainya harus membaca sensitifitas  kalangan masyarakat sipil ini, sekali lagi,  ‘agenda’ gerakan sosial mereka bukan pada topik-topik yang bersifat struktural (misalnya posisi Polri di bawah Presiden) tetapi pada praktek penegakan hukum sehari-hari.   

Demokratisasi bagaimanapun bukanlah proses short cut, ia merupakan jalan panjang, terjal dan berliku. Dengan demikian bongkar-pasang regulasi pada level hulu pun sejauh melalui proses subtantif demokrasi tentu masih direstui para pendiri bangsa ini. Segala bongkar-pasang ini bertujuan -- melalui ujaran heroik-- melindungi segenap tanah, tumpah darah bangsa: freedom from fear dan freedom from want.   Disini, Bapak Bangsa tujuh puluh tahun lalu secara implisit sangat sensitif terhadap kemungkinan yang akan terjadi pada komunitas global.   

Kecenderungan  Global “Jilid Tiga”

Untuk sekedar reflektif, jika hipotesis konstelasi global sebagaimana diurai di atas memang bisa dipercaya sebagai faktor utama (penentu) pembaruan sektor keamanan, maka apakah konstelasi global ini bersifat konstan? Tentu, dalam perubahan terdapat sisi yang bersifat konstan-permanen, ada pula yang berdimensi parsial/elementer atau tidak permanen. Tidak mudah memisah tegas antara yang subtantif permanen dengan yang elementer. Namun tanpa pemetaan analitik semacam ini  upaya mendialogkan kecenderungan global dengan kontek lokal menjadi kehilangan arah. Dalam konstelasi global yang terus bergerak ini  pertanyaannya bukan lagi pada “seberapa demokrasikah  demokrasi kita?” Pertanyaan semacam ini sudah ‘ketinggalan kereta’ karena nampaknya dalam kecenderungan wacana politik global ini lebih kuat  emosi kolektifisme ketimbang rasionalitas ekonomi. Rasionalitas ekonomi yang disokong  tata kelola global sejak tahun 90-an mengedepankan serba tembus pasar: term ‘globalisasi’ disini berarti serba tembus itu sendiri. Maka pertanyaan yang relefan diajukan adalah, “bagaimana kita dalam  praktek demokrasi yang bergerak di level global itu?”

Kecenderungan dua tahun belakangan sejumlah negara yang baru saja menyelesaikan hajat pesta demokrasi pemilu ditengarai dimenangkan oleh rezim kapitalisme negara (state kapitalism). Semangat global kepitalisme negara diam-diam tetapi pasti mulai merambah ke sejumlah negara. Tiongkok menjadi ilustrasi exemplar, kemudian diadopsi oleh negara-negara kawasan Asia Tenggara dan India. Kekalahan rezim Gandhi  atas BJP  berarti kemenangan semangat ultranasionalis; di Thailand, menguatnya sentimen nasionalisme setelah mengalami kriris demokrasi; begitu pula Vietnam, Myanmar, Kamboja yang sejak ‘dini hari’ meniru kapitalisme negara ala Tiongkok. Indonesia dari sisi (pandangan) masyarakat juga ternyata terdapat kecenderungan sama, paling tidak jika merujuk polling Kompas, 12 mei 2014. Salah satu pertanyaan yang diajukan dalam polling ini, “Lebih baik atau burukah mengenai solidaritas sosial sebangsa di lingkungan Anda saat ini dibandingkan masa awal reformasi?”  Dari 685 responden yang diambil secara acak di sejujmlah kota besar,  36,5 persen berpendapat lebih baik; 34,2 menjawab sama baik; 10,7 persen  sama buruk; dan 18 persen menjawab lebih buruk

 Maka, apa relefansi pergeseran wacana global ini dengan tata kelola keamanan,  sebagaimana tesis dasar artikel pendek ini? Prinsipnya dalam menguatnya kecenderungan global yang mengarah pada kapitalisme negara -- sebagaimana dipraktikan  Tiongkok -- berarti melumernya norma ‘ketembuspandangan’ karena lebih state-cenris. Atau, meredupnya wacana “pasar bebas”.  Lantas, apa hubungannya dengan fungsi dan peran serta postur aktor keamanan ? Ini bukan pertanyaan yang instan untuk dijawab. Yang jelas, fungsi,  peran dan postur aktor keamanan Indonesia yang didiskusikan selama hampir sepuluh tahun pada dasarnya adalah dalam merespon faktor global, justru hari ini menghadapi faktor global “jilid tiga”. Dalam menguatnya kapitalisme negara posisi moral tindakan berbasis nasionalisme akan semakin tegas.  Paling tidak barangkali logika hubungan subsidi BBM dengan penyelundupan BBM ke luar negeri  menjadi jelas posisi moralnya.  Pada paruh pemerintahan SBY urung memberi subsidi BBM agar harganya tetap murah, salah satunya khawatir terhadap maraknya penyelundupan kel Malaysia, padahal adalah tugas aktor keamanan untuk menagkap penyelundup.

 Penutup:
Dua Aras dalam Prospek Reformasi Sektor Keamanan
            Reformasi sektor keamanan (cq. kepolisian) -- Sebagaimana penegasan di atas-- hanya imbas bola salju  yang bergerak dari proyek demokratisasi pada sektor sosial politik. Arah design-nya  adalah  aktor keamanan ini tidak lagi mendefinisikan realitas perihal apa yang disebut sebagai “aman” secara jumawa-mandiri (Undang Undang Penanggulangan Konflik Sosial). Aktor keamanan  ini berada dibawah kontrol aktor politik yang secara prinsip  (bisa) dievaluasi secara reguler.  Maka, masa depan proyek reformasi sektor keamanan ini bergantung pada dua aras, supra dan infra struktur politik ini.
 Pertama, aras yang mengawaki  supra-struktur politik. Pembacaan pada awak supra strukutur politik ini untuk pemprediksi percepatan proyek reformasi keamanan pada jangka pendek hingga menengah-awal, atau dua sampai lima tahun. Aneke Osse menguatkan proposisi ini, “...pemerintah yang demokratis lebih penting bagi reformasi kepolisian daripada reformasi kepolisian untuk pemerintah yang demokratis”[17]. Kalau polling harian Kompas[18] bisa dijadikan indikasi, maka kualitas percepatan proyek reformasi sektor keamanan masih harus menempuh jalan terjal. Tetapi poin penting untuk prediksi ini juga terletak pada aktor eksekutif, lebih khusus siapa Menteri Hukum dan HAM kabinet mendatang.  Kedua, kematangan infrastruktur sosial. Aras ini untuk membaca prospek reformasi sektor keamanan jangka menengah dan panjang, lima sampai sepuluh tahun.  Taraf burgelich  kelas menengah kota amat penting untuk membaca kondisi ini

Dalam kalkulasi jangka pendek dan menengah-awal, percepatan  proyek  reformasi sektor keamanan sangat bergantung pada kualitas kemenangan rezim  yang mengawaki  supra-struktur politik. Kualitas proses kemenangan rezim pada supra struktur politik ini paralel dengan kualitas demokrasi itu sendiri. Energi bagi reformasi sektor keamanan bergantung pada kualitas proses pemenangan dalam Pileg dan Pilpres itu. Awak supra-struktur politik yang belepotan dosa dalam proses pemenangan, dosa politik ini akan terus terbawa dalam perilaku kekuasaan yang membelenggu reformasi. Ini tentu kontra produksi dengan demokrasi, cq. reformasi sektor keamanan. Misalnya, secara keberanian teknis menentukan zaken kabinet sebagai elemen sistem presidensial berpengaruh secara langsung pada reformasi di tubuh aktor keamanan ini. Sementara pada sisi regulasi institusi kepolisian  Pekerjaan Rumah paling mendasar jangka pendek hingga menengah-awal adalah penyelesaian revisi Undang Undang Nomor 2/2002. Revisi ini mengepaskan (kompatibel) struktur, sistem, postur kepolisian terhadap  tekstur konstelasi ancaman keamanan tanpa abai terhadap nilai demokrasi. Hemat Penulis, perlemen nanti akan memberikan bobot serius pada sisi pengawasan eksternal institusi kepolisian ini ketimbang isu lain. Tentu,  selain sangat penting  prediksi ini dialamatkan pada yang mengawaki Menteri Hukum dan HAM.    Upaya kompatibilitas semacam ini  secara sekaligus hendak manggapai perubahan kultur di lingkungan Polri. Perubahan kultur (dan mindset) tidak bisa dilakukan dengan nasehat-nasehat moral, mengundang Mario Teguh, atau pengajian.          

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Aron, Raymond.1962.The Opium of The Intellectuals, Norton, New York.

 

Asshidiqie, Jimly.2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi, Konstitusi Press, Jakarta.

 

Bakan, Joel.2002.The Corporation, terj. Sri IsnaniHusnayati, PT. Penerbit Erlangga,

            Jakarta.

 

Baldwin, Robert dan Richard Kinsey.2002. Police, Power and Politics; Kewenangan

 Polisi dan  Politik, terj. Kunarto, Cipta Manunggal, Jakarta.

 

Ball, Nicole.2000. Good Practices in Security Sector Reform, Herbert Wulf (edt.),

 Security Sector Reform, Berlin.

 

Beentham, David & Kevin Boyle.1995. Introducing Democracy;  80 Questions and

 Answers, United Nations Educational, Scientific Cultural Organization

 (UNESCO), Paris, France. 

 

Chandhoke, Neera. 1995. State and Civil Society, Sage Publication, New Delhi, India.

 

Dahrendorf, Ralf.1985. Law and Order, Westview Press, Colorado.

 

Dhakidae, Dhaniel.2003. Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru,

            Gramedia  Pustaka Utama, Jakarta.

 

Djamin, Awaloedin et all.2006. Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia,

            (Tanpa Penerbit).

 

Fukuyama, Francis.2005. Memperkuat Negara, terj. Zaim Rofiqi, Gramedia, Jakarta.

 

Fukuyama, Francis.2000. The Great Disruption, terj. Ruslani, Qalam, Yogyakarta.

 

Fukuyama, Francis.1992. The End of History and The Last Man, Hamish Hamilton,

 London.

 

George, Vic dan Paul Wilding.1992. Ideologi dan Kesejahteraan Rakyat, terj.

            Pustaka Utama, Grafiti, Jakarta.

 

Held, David.1995. Demokrasi & Tatanan Global; Dari Negara Modern hingga

            Pemerintahan  Kosmopolitan, terj. Terj.Damanhuri, Pustaka Pelajar, Jakarta.

 

Held, David..2006. Models of Democracy, Polity Press, Malden, USA

 

Herberle, R.1951. Social Movements; In Introduction to Political Sociology, New

 York.

 

Linz, Juan J. et al.2001. Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, terj. Rahmani Astuti,

 Mizan Media Utama

 

 O’Donnel, Guillermo, at al.1993. Transisi Menuju Demokasi; Tinjauan Berbagai

 Perspektif,  LP3ES, Jakarta.

Osse, Anneke.2006. Memahami Pemolisian, Rinam Antartika, Jakarta.

 


Winters, Jefrey .1996. Power in Motion: Capital Mobility and the Indonesian State,


            Cornell University Press. 


http://www.economist.com/node/21564235

 



* Sutrisno Suki, Doktor Sosiologi Universitas Indonesia, bergabung dengan PTIK sejak 2004 sembari mengajar di Universitas Paramadina. Sebelumnya, Penanggungjawab Depertemen Sosiologi pada The International Institute of Islamic Thought- Indonesia, sebuah lembaga non pemerintah berpusat di Hendorn- Virginia, AS; Dan, Kordinator Kajian Filsafat untuk Peradaban (KAFARAD).
 
[1] . Padahal, yang menjadi entry poin tulisan pendek ini bahwa konstelasi global itu bergerak terus.   Menarik pada tataran pertarungan gagasan, cendikiawan yang menampilkan demokrasi kontekstual melalui penggalian nilai-nilai Pancasila seperti berteriak di padang pasir. Gagasan demokrasi kontekstual ini  layu sebelum berkembang sebagaimana  dasawarsa 80-an melalui Damarjati Supajar, seorang filsuf Jawa dari UGM.
   
[2].  Periksa  misalnya Jimly Assidique.2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
 PascaReformasi, Konstitusi Press, Jakarta.
 
[3] . Ketika terminologi ‘keamanan’ diperbincangkan pada semangat zaman semacam ini, maka kemudian disusul perseteruan verbal antara ‘keamanan negara’ dengan ‘keamanan individu/publik’. Atau antara “k” besar dengan “k” kecil. Perseteruan verbal ini bukan perebutan pepesan kosong antara sejumlah aktor-aktor keamanan, tetapi menyangkut isi otoritas di dalamnya.
[4] . Seymour Martin Lipset.1960. Political Man, Heinemann, London.
 
[5] . Raymond Aron.1962.The Opium of The Intellectuals, Norton, New York.
 
[6] . Francis Fukuyama.1992. The End of History and The Last Man, Hamish Hamilton, London.
 
[7] . Tantangan dalam wajah baru ini untuk menganalogikan-terbalik dalam dunia pewayangan,  bahwa distingsi karakter baik dan karakter  jahat tidak semudah performen fisik yang ditampilkannya. Sehingga untuk tidak kehilangan subtstansi kebenaran yang koheren (perihal demokrasi, misalnya)  akan sulit menghindari wacana “demokrasi epistemologik”, padahal justru wacana semacam ini cenderung tidak laku karena kehilangan aspek entertain atau aspek ke-publik-an. Publik semakin menjauh dari kebenaran subtantif. 
 
[8] .  Lihat misalnya, http://www.globalmuslim.web.id/2011/05
.

[9] . Jefrey Winters.1996. Power in Motion: Capital Mobility and the Indonesian State, Cornell University Press.

 
[10] . Periksa misalnya Nicole Ball, Good Practices in Security Sector Reform, Herbert Wulf (edt.), Security Sector Reform, Berlin, 2000.
 
[11] . Buku ini berasal dari disertasi Joel Balkan pada Colombia University. Versi Indonesia diterbitkan melalui Penerbit Airlangga dengan anak judul ‘Pengejaran Patologis Terhadap Harta Dan Tahta’.
 
[12] . Dipenghujung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, hemat Penulis separuh regulasi penting digelontorkan menutup bolong-bolong kompatibitas demokrasi. Misalnya, Undang Undang Intelejen Negara, Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial, Penguatan Dewan Perss.
 
[13] . Bahwa prinsipnya institusi pemegang senjata (militer dan kepolisian) berada dibawah otoritas sipil yang secara reguler bisa dievaluasi. Kepolisian yang langsung di bawah Presiden telah memenuhi standar ini. Kalangan yang menyerang struktur semacam ini mengkhawatirkan  politisasi atas institusi kepolisian, padahal di bawah apapun peluang politisasi itu tetap sama, belum lagi menyoal ‘ongkos’ proses pengalihan itu, baik berupa infrastruktur maupun suprastruktur.  
 
[14] . Secara metodologik harus dibedakan antara “masalah sosial (sosial-politik)” dengan “masalah sosiologik”  atas realitas posisi Polri di bawah Presiden ini.  “Masalah sosial (sosial-politik)” adalah realitas interaksi yang menjadi persoalan (=moral politik) sebagai konsekwensi dari posisi Polri di bawah Presiden;  “masalah sosiologik”  adalah exercise akademisi mengenai posisi Polri di bawah Presiden.   
 
[15] . Juan J. Linz, et al.2001. Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, terj. Rahmani Astuti,  Mizan Media Utama, Bandung, hal. 40 – 45.
 
[16] . Sekedar ilustrasi, dalam sebuah birokrasi korup  aktor birokrat tidak lagi takut atau khawatir terhadap sub/lembaga kontrol negara (internal maupun eksternal) atas dosa-dosa yang dilakukannya, justru yang di-ngeri-kan jika ‘tercium’ kalangan pers atau kalangan masyarakat sipil.
[17] . Aneke Osse.2006. Memahami Pemolisian, Rinam Antartika, Jakarta.
 
[18] . Harian Kompas, 12 mei 2014,  Polling ini dilakukan tanggal 7 – 9 mei 2014 terhadap  685 responden secara acak berusia minimal 17 tahun. Pertanyaan yagn ajukan,Yakin atau tidakkah Anda, lembaga berikut mampu memenuhi tuntutan reformasi ?”
 
Lembaga
Tdk Yakin
Yakin
1
Anggota DPRD dan DPD yang terpilih dari pemilu April 2014
70,9
22,9
2
KPK
27,3
69,3
3
Lembaga penegak hukum (Polri, Kejagung, Mahkamah Agung)
64,4
31,1
4
Mahasiswa dan gerakan pemuda
48,9
46,0
                Parlemen bersama dengan lembaga penegak hukum menempati posisi yang paling tidak dipercayai masyarakat dalam mengawal pembaruan, keduanya jauh di bawah KPK dan mahasiswa.